
Kebijakan baru yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Alat Kontrasepsi untuk Pelajar telah menimbulkan gelombang pro dan kontra di berbagai kalangan.
Jamal Muhadi S selaku Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PW IPNU) Kalimantan Utara, sebagai salah satu suara muda yang berpengaruh, telah dengan tegas menyuarakan keprihatinannya terhadap implikasi dari kebijakan ini.
Bagi sebagian pihak, kebijakan ini dianggap sebagai langkah maju dalam upaya mencegah kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja.
Mereka berpendapat bahwa akses yang lebih mudah terhadap alat kontrasepsi dapat menurunkan angka kehamilan remaja dan mengurangi risiko aborsi yang tidak aman.
Selain itu, kebijakan ini juga dianggap sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengedukasi generasi muda tentang kesehatan reproduksi dan pentingnya seks yang aman.
Namun, di sisi lain, pandangan Rekan Jamal mengingatkan kita akan potensi dampak negatif yang tidak boleh diabaikan.
Pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar tanpa disertai pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab dan konsekuensi dari aktivitas seksual dapat membuka celah untuk penyalahgunaan.
Alat kontrasepsi bisa saja digunakan sebagai “kartu bebas” bagi pelajar untuk melakukan hubungan seksual tanpa mempertimbangkan risiko fisik, emosional, dan sosial yang menyertainya.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini berisiko merusak nilai-nilai moral dan budaya yang selama ini menjadi landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar bisa ditafsirkan sebagai bentuk legalisasi perilaku seksual di luar nikah, yang tentu saja bertentangan dengan norma dan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Selain itu, kebijakan ini dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius pada pelajar. Akses mudah terhadap alat kontrasepsi bisa membuat remaja menganggap enteng hubungan seksual, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang seperti gangguan kesehatan mental, penurunan prestasi akademik, dan rusaknya hubungan sosial dengan keluarga maupun teman.
Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk lebih bijak dalam menerapkan kebijakan ini. Daripada hanya menyediakan alat kontrasepsi, lebih baik kebijakan ini difokuskan pada penguatan pendidikan seksual yang komprehensif, yang tidak hanya membahas tentang pencegahan kehamilan tetapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, kesadaran diri, dan pemahaman tentang konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil.
Dengan demikian, meskipun tujuan dari PP 28/2024 ini baik, yaitu untuk menekan angka kehamilan remaja dan melindungi generasi muda, kebijakan ini perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih holistik dan sensitif terhadap nilai-nilai sosial dan budaya.
Jamal Muhadi S selaku Ketua PW IPNU Kalimantan Utara telah menyuarakan keprihatinan yang patut kita renungkan, agar kebijakan ini benar-benar membawa manfaat tanpa mengorbankan masa depan pelajar Indonesia.