
May Day & Hardiknas dari Kalimantan Utara
Tanggal 1 dan 2 Mei tak ubahnya menjadi momen teatrikal negara: satu hari untuk buruh, satu hari untuk pendidikan. Di podium-podium megah, para pejabat membaca teks pidato, sementara di pedalaman Kalimantan Utara, guru honorer menghitung rupiah untuk membeli bensin agar bisa sampai ke sekolah.
Peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi refleksi terhadap nasib guru di Kalimantan Utara — mereka yang juga adalah buruh intelektual, namun selama ini hanya diberi pujian tanpa kesejahteraan. Dengan segenap keikhlasan hati, mereka tetap menjadi garda terdepan dalam pendidikan di daerah perbatasan.
Imanullah, aktivis pendidikan dan salah satu pendiri organisasi kepemudaan di Kalimantan Utara, menyampaikan:
“Negara ini terlalu sering bicara tentang pendidikan sebagai masa depan bangsa, tapi melupakan siapa yang menopang masa depan itu: guru. Di Kalimantan Utara, banyak guru honorer yang gajinya bahkan tidak cukup untuk beli beras sebulan penuh. Mereka bukan hanya pejuang, tapi korban dari sistem yang pura-pura peduli.”
Sungguh ironi, ketika negara begitu lihai mencetak baliho bertuliskan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tapi abai memberi mereka tanda jasa paling mendasar: gaji yang manusiawi.
Imanullah juga menambahkan:
“Kesejahteraan guru bukan sekadar angka di slip gaji, tapi cermin sejauh mana negara menghargai akal sehat warganya. Di Kalimantan Utara, masih banyak guru yang harus menyeberang sungai, mengajar di sekolah beratap bocor, bahkan tak digaji berbulan-bulan. Tapi mereka tetap datang, karena mereka sadar: kalau bukan mereka, siapa lagi? Ironisnya, justru negara yang seharusnya hadir malah sibuk dengan pencitraan di media sosial dan upacara seremonial.”
Pendidikan tidak akan pernah maju jika guru terus dilupakan. Baik buruh di pabrik maupun buruh di kelas tidak akan sejahtera jika keadilan hanya berhenti di panggung seremoni.