
Satu jam lalu, saya menerima pesan singkat yang memuat berita kegiatan acara SUDARA (Suara Damai Nusantara) yang digelar oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bersama FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Kalimantan Utara, yang diselenggarakan pada hari Rabu 4 Juni 2025. Acara omong-kosong yang menghabiskan anggaran dan sudah pasti tak tepat sasaran itu ditulis dengan beragam judul oleh beberapa media.
Dari sekian banyak liputan, ada salah satu judul yang membuat saya tergerak untuk segera menuliskan tanggapan ini. Tajuk itu bertuliskan : “Tangkal Radikalisme Melalui Seni Budaya” yang diterbitkan oleh Antara News Kaltara.
Anda bisa melihat berita utuhnya disini :
https://kaltara.antaranews.com/berita/515597/tangkal-radikalisme-melalui-seni-budaya
Apa yang dilakukan BNPT dan FKPT dalam program ini bukan pencegahan, tapi pelarian dari realita. Mereka (BNPT dan FKPT) dengan sangat pasti dan meyakinkan telah berpura-pura lupa bahwa radikalisasi lahir dari pemikiran. Ia tumbuh dari ruang debat yang mati, dari internet yang dikuasai propaganda, dari minimnya ruang dialog intelektual, bukan dari kurangnya festival hiburan.
Sebagai seorang mantan pelaku pengkaderan organisasi Terorisme paling kaya di dunia, ISIS dan beberapa tahun terjun langsung mengorganisir langusng divisi media ISIS untuk wilayah Indonesia, saya tak bisa menahan tawa karena selalu saja melihat kebodohan yang diulang-ulang oleh suatu lembaga yang katanya dapat “dipercaya” untuk mencegah/menangkal gerakan terorisme.
Dalam berita itu, coba Anda baca bagian ini :
“Program SUDARA merupakan respons atas meningkatnya fenomena radikalisasi di kalangan pelajar dan mahasiswa, dipicu oleh lemahnya literasi digital, terbatasnya ruang ekspresi damai, dan minimnya dialog lintas budaya.”
Maka saya jawab, poin ini sebenarnya benar tapi solusi yang diambil justru salah arah alias tidak nyambung. Kalau masalahnya adalah literasi digital, maka kenapa tidak dibuat pelatihan mendalam soal propaganda, analisa wacana, atau bahkan simulasi rekrutmen radikal? Ruang dialog lintas budaya tidak dibangun dengan menyuruh anak lomba, tapi dengan debat terbuka, mentoring, dan studi lapangan.
Kemudian, paragraf berikutnya :
“Lomba ini menjadi salah satu bentuk nyata upaya kita dalam mencegah masuknya ideologi radikal dan intoleran, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Melalui seni dan budaya, kita ajak generasi muda membangun daya tangkal terhadap segala bentuk provokasi ekstrem,” kata Datu Iqro.
Saya heran, bagaimana ada lembaga “sekelas” BNPT dan FKPT bisa kepikiran bahwa lomba bisa menjadi upaya mencegah pemikiran ekstrim dikalangan anak muda? Apakah yang diharapkan justru agar para pemuda dalam lomba ini bisa “terbuai” dan berhenti kritis bertanya mengapa ada di belahan dunia lain, ada anak seusia mereka justru berlomba ingin berangkat perang dan memasang bom di badan mereka?
Perlu diketahui menurut catatan BNPT, teroris dibawah umur 30 tahun di Indonesia mencapai 59% sebab menjadi teroris adalah suatu hal yang menggiurkan dan sangat prestisius (bergengsi).
Lalu pada paragraf inilah yang membuat saya harus segera menanggapi pernyataan ini, kutipan tersebut tertulis :
Ketua FKPT Kalimantan Utara, Rano Liling, menekankan bahwa kegiatan ini adalah wujud nyata dari upaya menumbuhkan kesadaran toleransi sejak dini. “Kita ingin membekali peserta dengan pemahaman kritis terhadap narasi kekerasan, hoaks, dan ujaran kebencian. Mereka harus mampu menghargai keberagaman sebagai kekayaan bangsa,” ungkapnya.
Saya katakan, pernyataan ini salah besar, omong kosong, tanpa data. Seorang teroris tidak pernah bermasalah dengan perbedaan, suku, ras, atau agama. Kalau dia bisa lebih pintar daripada smartphone-nya (seandainya), mungkin beliau bisa googling betapa banyak pelaku bom justru berteman dan dikenal baik terhadap orang-orang yang berbeda agama dengan para pelaku. Atau dia dapat melihat data ringkas lewat chat-GPT, (itupun kalau beliau bisa merangkai Prompt berteknologi ini).
Sebagai mantan teroris yang berpindah-pindah penjara hingga 4 kali dan sekamar dengan mereka (napi teroris), dapat saya simpulkan bahwa ketua FKPT, pak Rano Liling ini memang tidak memahami apa yang sedang ia bicarakan dan apa yang “seharusnya” ia kerjakan. Sangat wajar, bahkan beliau tidak kepikiran mengundang saya dalam acara ini untuk berbagi tips cara menangkal pemikiran radikal.
Selama saya “berkarir” jadi teroris ISIS, justru saya lebih sering melakukan pengkaderan kepada target di meja hiburan malam sambil menuangkan vodka untuknya! Apakah orang-orang ini sebelumnya ada masalah karena musuhnya menyembah tuhan yang berebda? Tentu tidak. Apakah orang ini miskin? Pasti kaya. Apakah orang ini butuh hiburan lomba seperti yang baru saja diselenggarakan oleh gabungan BNPT dengan FKPT hari ini? Akal saya sampai berhenti menjawab ini.
Oh ya, saya sengaja menyelipkan satu maha karya saya (nama alias saya saat itu Abu Hasan Al Burni) yang telah dijadikan dokumenter oleh tim Narasi Newsroom, dengan judul “Bagaimana Strategi Propaganda Online Kelompok Teror di Indonesia?” Anda dapat menonton fullnya di YouTube :
https://www.youtube.com/watch?v=Nwynhl53I40&t=151s&pp=ygUSYWJ1IGhhc2FuIGFsIGJ1cm5p
Sebagai penutup, jika BNPT dan FKPT sungguh-sungguh ingin mencegah radikalisasi, maka mulailah dari akarnya, bukan malah buat acara akrobat panggung dan hanya menyisakan dokumentasi laporan kegiatan. Undanglah mereka yang pernah salah arah, tapi berhasil kembali dan dengan tulus ingin mengabdi pada negeri Indonesia yang tercinta ini.
Salam berpikir sehat dan kritis, Fitri Zulkarnain di Tanjung Selor, Kamis 5 Juni 2025 pukul 4:14 dini hari.