
Oleh: H. Ahmad Junaedi, S.E., M.M., Ak., CPMA., CISHR., CICR., CIRBD.
Transformasi digital saat ini bagaikan mantra pembangunan di hampir seluruh sektor kehidupan modern. Di Indonesia, komitmen terhadap digitalisasi diwujudkan dalam berbagai program nasional seperti Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), Smart City, hingga digitalisasi layanan publik. Pemerintah pusat dan daerah berlomba-lomba mengadopsi sistem teknologi informasi (TI) sebagai simbol kemajuan birokrasi dan pelayanan. Aplikasi digital menggantikan meja loket, cloud server menggantikan lemari arsip, dan dashboard analitik menjadi alat baru dalam pengambilan keputusan.
Namun di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang sering kali diabaikan: siapa yang mengontrol sistem teknologi informasi yang kita gunakan? Lebih tepatnya, apakah pemerintah daerah, yang menjadi garda terdepan pelayanan publik, benar-benar memahami dan menguasai sistem yang mereka operasikan? Atau justru hanya menjadi “penumpang” dalam sistem yang seluruh desain dan kontrolnya berada di luar jangkauan mereka?
Pertanyaan ini menjadi semakin penting saat kita menengok ke wilayah pinggiran seperti Kalimantan Utara, salah satu provinsi termuda di Indonesia. Dalam upaya mengejar ketertinggalan pembangunan, Kalimantan Utara tengah melakukan lompatan digital di tengah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia. Namun di sinilah ironi muncul: di tengah upaya percepatan digitalisasi, kontrol terhadap sistem justru kian menjauh dari tangan penggunanya. Pemerintah daerah menjadi pengguna sistem yang mereka tidak rancang, tidak pahami, dan tidak bisa audit secara mandiri.
Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa pertanyaan “siapa mengontrol siapa” bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut politik data, etika algoritma, dan kedaulatan digital. Poin inilah yang ingin kita bahas dalam tulisan ini, sebuah refleksi kritis tentang relasi kuasa dalam sistem TI, dengan Kalimantan Utara sebagai studi kasus pinggiran yang mencerminkan wajah pusat.
Sistem Teknologi Informasi: Netralitas yang Menyesatkan
Salah satu asumsi paling umum dan sekaligus paling menyesatkan tentang teknologi informasi adalah anggapan bahwa teknologi bersifat netral. Kita terbiasa melihat TI sebagai alat bantu yang bekerja secara logis, rasional, dan tanpa muatan nilai. Dalam narasi kebijakan publik, TI bahkan sering diposisikan sebagai solusi atas ketidakmampuan manusia, karena teknologi dianggap efisien, objektif, dan tak bias.
Namun teori kritis dalam studi teknologi menunjukkan hal sebaliknya. Langdon Winner (1980) dalam karya klasiknya Do Artifacts Have Politics? menegaskan bahwa teknologi bukan hanya instrumen teknis, tetapi juga mengandung struktur politik. Teknologi mendefinisikan siapa yang memiliki akses, siapa yang bisa memutuskan, siapa yang dikendalikan, dan siapa yang dikorbankan. Teknologi menciptakan konfigurasi kekuasaan yang tersembunyi di balik logika sistem.
Penerapan teknologi informasi dalam sistem pemerintahan atau layanan publik sangat rentan terhadap struktur semacam itu. Dalam banyak kasus, sistem TI, terutama yang berbasis aplikasi digital dan cloud-based infrastructure, dirancang sebagai “black box”: sistem yang tidak transparan bagi penggunanya. Pemerintah sebagai pengguna tidak tahu bagaimana algoritma bekerja, bagaimana data diproses, atau bagaimana hasil rekomendasi dibuat. Bahkan dalam beberapa kasus, seorang admin daerah tidak bisa mengakses server atau database utama, karena dikendalikan vendor atau pihak ketiga.
Lebih berbahaya lagi, ketika keputusan-keputusan penting dalam sistem informasi diambil oleh logika algoritmik, yang tidak bisa diuji publik atau diaudit oleh lembaga independen. Misalnya, siapa yang mendapatkan bantuan sosial, siapa yang dianggap aktif atau tidak dalam sistem kepegawaian, siapa yang dikategorikan sebagai ‘layak akses' dalam layanan publik, semua itu bisa jadi hasil keputusan dari parameter yang disematkan oleh vendor teknologi, tanpa keterlibatan publik atau legitimasi etik.
Dalam kondisi seperti ini, teknologi informasi bukan lagi alat bantu, melainkan telah menjadi aktor politik. TI memproduksi dan mereproduksi struktur kuasa yang seringkali tak terlihat. Di satu sisi, sistem terlihat rapi, efisien, modern, namun di sisi lain, ada yang dikendalikan dan ada yang kehilangan kontrol, tanpa pernah menyadarinya.
Realitas ini sangat relevan dengan konteks Kalimantan Utara. Sebagai wilayah yang tengah tumbuh dan terhubung dengan sistem nasional, Kalimantan Utara berada dalam posisi dilematis: ingin membangun sistem digital yang canggih, tetapi tidak atau belum memiliki kapasitas untuk mendesain atau mengauditnya sendiri. Akibatnya, sistem informasi yang seharusnya mendukung otonomi daerah justru memperkuat ketergantungan pada pusat, atau bahkan pada vendor swasta yang jelas-jelas tidak memiliki tanggung jawab publik.
Dalam bahasa Shoshana Zuboff (2019), inilah bentuk dari “surveillance capitalism”: data dikumpulkan bukan untuk kepentingan warga, tetapi untuk membentuk perilaku, menjual prediksi, dan memperluas kontrol. Jika kita tidak waspada, sistem informasi publik kita tidak lagi melayani rakyat, melainkan melayani logika pasar dan kekuasaan tersembunyi yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Realitas Sistem TI di Kalimantan Utara
Kalimantan Utara (Kaltara), provinsi ke-34 Republik Indonesia, menjadi medan yang menarik sekaligus rawan dalam lanskap digitalisasi nasional. Diresmikan pada 22 April 2013, Kaltara saat ini tengah mengejar ketertinggalan dalam berbagai sektor, termasuk pembangunan sistem teknologi informasi. Dengan luas wilayah mencapai lebih dari 75 ribu kilometer persegi dan tingkat kepadatan penduduk yang rendah, tantangan digitalisasi di provinsi ini tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik.
Digitalisasi di Kaltara ditandai dengan sejumlah inisiatif pemerintah daerah, seperti pengembangan sistem informasi perizinan terpadu, peluncuran aplikasi pelayanan publik berbasis daring, serta integrasi sistem keuangan daerah dengan SIMDA berbasis cloud. Beberapa kabupaten/kota, seperti Tarakan dan Bulungan, telah mulai menerapkan konsep Smart City, meskipun masih dalam tahap awal. Di sisi lain, instansi vertikal seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan BPKP telah lebih dulu membangun sistem informasi sektoral yang harus diadopsi oleh pemda.
Di balik geliat pengembangan teknologi informasi (TI) di pemerintah daerah Kaltara, muncul pertanyaan mendasar tentang sejauh mana pemerintah daerah benar-benar memahami, menguasai, dan mampu mengembangkan sistem TI secara mandiri. Dari beberapa Rencana Induk dan Arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang terpublish di internet, dapat kita lihat bahwa sebagian besar aplikasi yang digunakan berasal dari vendor eksternal, sehingga kendali atas arsitektur, database, dan keamanan data berada pada pihak ketiga. Kondisi ini menimbulkan risiko besar terkait kontrol dan keamanan data, terlebih jika kapasitas ASN yang menjadi user maupun admin masih rendah. Oleh karenanya, literasi digital strategis yang minim membuat pemerintah daerah lebih banyak bergantung pada vendor dan konsultan eksternal, sementara tata kelola data juga masih lemah, banyak OPD menyimpan data penting di cloud gratis tanpa perlindungan memadai, tanpa prosedur backup dan pemulihan yang jelas.
Lebih jauh, asimetri kekuasaan digital terlihat dari dominasi vendor dalam pengambilan keputusan mengenai sistem TI, sedangkan pemerintah daerah hanya menyesuaikan diri dengan solusi yang tersedia tanpa benar-benar menentukan kebutuhan mereka sendiri. Akibatnya, ketergantungan sistemik terhadap pihak luar semakin kuat, yang pada akhirnya melemahkan kedaulatan pemerintah daerah dalam mengelola pelayanan publik berbasis TI. Hal ini tidak hanya mengancam keberlanjutan sistem, tetapi juga menimbulkan risiko serius pada keamanan dan integritas data publik, yang berpotensi berdampak hukum dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Siapa yang Mengontrol Sistem?
Pertanyaan “siapa mengontrol siapa” dalam konteks teknologi informasi bukanlah pertanyaan retoris. Dalam sistem digital modern, kontrol tidak lagi hanya berada pada tataran formal, seperti struktur organisasi, peraturan, atau otoritas administratif. Kontrol hari ini justru tersembunyi di balik sistem, protokol, kode sumber, dan logika algoritma. Kontrol tidak tampak, tetapi bekerja secara efektif.
Ketika sebuah sistem informasi digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengelola data penduduk, menentukan distribusi bantuan sosial, atau mengelola sumber daya manusia, maka sistem tersebut pada hakikatnya menjalankan fungsi pengambilan keputusan. Namun pertanyaan kritisnya adalah: siapa yang menentukan logika keputusan tersebut?
Dalam sistem berbasis algoritma, proses pengambilan keputusan tidak selalu dapat dilacak oleh penggunanya. Parameter yang digunakan, bobot penilaian, dan threshold (ambang batas) untuk klasifikasi sering kali ditentukan oleh pembuat sistem, bukan oleh pengguna akhir. Mekanisme seperti ini dikenal sebagai algoritmik governance, yaitu situasi di mana kekuasaan diambil alih oleh logika sistem digital, bukan oleh pertimbangan manusia.
Jika sistem ini tidak transparan, tidak dapat diaudit, dan tidak disusun berdasarkan partisipasi pengguna, maka sesungguhnya pemerintah hanya menjalankan keputusan yang telah ditetapkan oleh sistem. Dalam konteks Kalimantan Utara, hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat masih cukup rendahnya kapasitas penguasaan teknologi dan besarnya dominasi vendor dalam perancangan sistem.
Surveillance Capitalism dan Hilangnya Kedaulatan Data
Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019) menjelaskan bahwa kapitalisme digital saat ini bekerja dengan cara mengekstraksi perilaku manusia melalui data. Data tersebut tidak hanya digunakan untuk dokumentasi, tetapi juga untuk membentuk prediksi, memengaruhi pilihan, bahkan mengendalikan perilaku. Ini yang disebut sebagai kapitalisme pengawasan.
Dalam praktiknya, aplikasi-aplikasi publik yang digunakan oleh pemerintah daerah mengumpulkan data dalam jumlah besar. Namun ironisnya, data itu terkadang tidak berada di bawah kendali pemerintah, melainkan tersimpan di server vendor, atau bahkan cloud server luar negeri. Pemerintah tidak tahu bagaimana data itu diproses, disimpan, atau dibagikan. Tidak ada jaminan bahwa data itu hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan publik.
Kita menghadapi situasi di mana data milik warga dikelola oleh pihak yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara publik. Padahal, dalam era digital, data adalah bentuk baru dari kekuasaan. Ketika pemerintah kehilangan kontrol atas data, maka yang hilang bukan hanya arsip, melainkan juga kedaulatan.
Ketimpangan Relasi Digital: Negara vs Korporasi Teknologi
Dominasi vendor dan korporasi teknologi dalam penyediaan sistem informasi pemerintahan bukan hanya persoalan efisiensi atau kapasitas. Dapat dikatakan kondisi seperti ini adalah sebuah ketimpangan kekuasaan antara negara (khususnya pemerintah daerah) dan entitas swasta yang memiliki sumber daya, teknologi, dan pengetahuan. Ketika pemerintah tidak bisa mengembangkan sistemnya sendiri, tidak bisa memodifikasi, apalagi mengaudit sistem, maka secara de facto, kekuasaan berpindah ke tangan penyedia teknologi.
Dalam studi-studi postkolonial, hal ini bisa dibaca sebagai bentuk neo-kolonialisme digital. Kalimantan Utara yang secara geografis berada di pinggiran, justru makin terdorong ke pinggir dalam sistem digital global. Ia tidak punya otoritas atas sistemnya sendiri, tetapi menjadi objek dari kekuasaan sistem yang dirancang di tempat lain, baik pusat maupun luar negeri.
Hal ini tidak berarti bahwa semua vendor atau teknologi luar bersifat buruk. Namun yang dipersoalkan adalah tidak adanya mekanisme kontrol dan transparansi yang dapat melindungi kepentingan publik. Pemerintah daerah tidak memiliki bargaining position yang kuat, dan tidak ada kerangka etis yang mengatur bagaimana sistem informasi publik seharusnya dibangun dan dikelola.
Absennya Etika dalam Desain Sistem Publik
Sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan sistem informasi, etika adalah elemen esensial dalam desain sistem TI publik. Namun, dalam praktik di banyak daerah termasuk Kalimantan Utara, desain sistem lebih didasarkan pada ketersediaan anggaran dan tawaran vendor, bukan berdasarkan kebutuhan sosial, prinsip keadilan, atau akuntabilitas publik.
Contoh nyata adalah tidak adanya standar etik pengelolaan data publik, tidak atau belum adanya pelibatan masyarakat sipil dalam desain sistem, dan minimnya pengawasan independen terhadap bagaimana sistem bekerja. Akibatnya, sistem TI yang seharusnya menjadi alat bantu demokrasi justru berisiko menjadi alat penguatan oligarki data.
Jalan Menuju Sistem TI yang Berkeadilan
Jika sistem teknologi informasi publik di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Utara tentunya, berisiko memperkuat dominasi vendor, melemahkan kedaulatan data, serta menciptakan ketimpangan relasi antara negara dan korporasi teknologi, maka solusinya tidak cukup hanya dengan peningkatan kapasitas teknis semata. Dibutuhkan sebuah pendekatan etis, strategis, dan partisipatif untuk membangun sistem TI yang benar-benar berkeadilan.
Membangun keadilan dalam sistem teknologi informasi tidak sekedar memperbaiki kualitas perangkat lunak atau memperluas jaringan internet, namun harus dimulai dari cara pandang yang mengakui bahwa TI adalah medan kekuasaan, dan karena itu memerlukan prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi dalam seluruh siklusnya: dari desain, implementasi, hingga evaluasi. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan guna menuju sistem TI yang berkeadilan:
- Memperkuat Prinsip Transparansi dan Auditabilitas Sistem
Langkah awal menuju sistem yang berkeadilan adalah memastikan sistem TI pemerintah daerah dapat diaudit secara terbuka. Setiap algoritma, skema pengambilan keputusan, dan proses pengelolaan data harus dapat ditelusuri dan dipahami oleh pengguna serta publik yang terdampak. Oleh karenanya, harus ada kebijakan yang mewajibkan vendor menyediakan dokumentasi sistem secara utuh, termasuk struktur database, logika pemrosesan, dan hak akses pada setiap level. Pemerintah daerah harus memiliki hak untuk melakukan audit independen atas sistem yang digunakan, termasuk atas keamanan dan privasi data.
- Membangun Literasi Digital Kritis di Kalangan ASN dan Masyarakat
Selama ini, pelatihan literasi digital lebih difokuskan pada aspek operasional: bagaimana menggunakan aplikasi, mengunggah dokumen, atau mengakses email pemerintah. Namun untuk menciptakan keadilan digital, yang dibutuhkan adalah literasi digital kritis.
Literasi digital kritis mengajarkan bagaimana algoritma bekerja, bagaimana data dikumpulkan dan digunakan, serta bagaimana hak digital warga negara dapat diperjuangkan. ASN harus memahami bahwa setiap klik dan input bukan sekedar aktivitas administratif, tapi bagian dari sistem pengambilan keputusan yang berdampak pada publik.
Masyarakat juga harus diedukasi agar tidak sekedar menjadi konsumen pasif sistem digital. Mereka perlu memiliki kesadaran terhadap privasi data, hak atas informasi, serta kemampuan untuk mengkritisi dan meminta pertanggungjawaban terhadap sistem digital yang digunakan pemerintah.
- Menumbuhkan Ekosistem Pengembang Lokal
Salah satu akar dari ketergantungan teknologi adalah minimnya dukungan terhadap pengembang lokal di daerah. Kalimantan Utara, meskipun memiliki beberapa sekolah vokasi dan universitas, belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk membangun ekosistem teknologi yang mandiri.
Pemerintah daerah harus mulai menjalin kemitraan strategis dengan perguruan tinggi, komunitas TI, dan pelaku UMKM digital lokal untuk mengembangkan sistem TI berbasis kebutuhan lokal. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kemandirian, tapi juga menciptakan transfer pengetahuan, inovasi berbasis kearifan lokal, serta efisiensi biaya jangka panjang. Inisiatif seperti “Inkubator Teknologi Daerah” bisa menjadi platform bersama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengembangkan solusi digital inklusif, aman, dan berkelanjutan.
- Reformulasi Tata Kelola Teknologi dalam RPJMD dan SPBE
Perencanaan pembangunan daerah (RPJMD) dan dokumen Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) perlu direformulasi secara substansial. Tidak cukup hanya mencantumkan program digitalisasi sebagai target kinerja, tetapi harus dilengkapi dengan indikator etika, partisipasi, dan keadilan sistem.
Beberapa contoh indikator yang dapat dimasukkan antara lain:
- Tingkat keterlibatan publik dalam perancangan sistem digital.
- Jumlah aplikasi yang dapat diaudit.
- Jumlah pengembang lokal yang terlibat dalam proyek TI pemerintah.
- Skema perlindungan data dan hak digital warga.
Beberapa langkah tersebut akan membantu mendorong perubahan orientasi sistem TI dari sekedar alat pelayanan administratif menjadi ruang perjuangan kedaulatan digital yang demokratis.
Membangun Semangat Kedaulatan Sistem Informasi Daerah
Dalam pusaran transformasi digital yang kian massif, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem teknologi informasi bukan lagi sekedar alat bantu administratif. TI telah menjelma menjadi infrastruktur kekuasaan, yang menentukan siapa memiliki akses terhadap informasi, siapa mendapatkan pelayanan, dan siapa diklasifikasikan dalam sistem. Di tengah narasi efisiensi dan modernisasi, kita sering lupa bahwa teknologi juga dapat memperlebar ketimpangan, memperkuat ketergantungan, dan menyamarkan dominasi baru yang bekerja di luar pengawasan demokratis.
Kalimantan Utara, sebagai provinsi muda yang berada di pinggiran geografis dan digital, menjadi cermin yang tajam dari kompleksitas ini. Dengan infrastruktur terbatas, kapasitas lokal yang masih tumbuh, serta tekanan untuk mengejar ketertinggalan, daerah ini menghadapi dilema: antara mempercepat digitalisasi atau mempertahankan kedaulatan atas sistem yang digunakan. Di titik ini, muncul pertanyaan fundamental yang menjadi benang merah tulisan ini: di balik layar sistem teknologi informasi, siapa yang sebenarnya mengontrol siapa?
Kita telah melihat bahwa dalam banyak kasus, kontrol atas sistem tidak berada di tangan pengguna, apalagi publik. Ia tersembunyi dalam logika vendor, arsitektur algoritma, dan kontrak yang tidak transparan. Dalam situasi seperti itu, teknologi informasi justru menjadi alat pelapisan baru ketimpangan kekuasaan, bukan solusi atasnya.
Namun, kita tidak boleh berhenti pada kritik. Tanggung jawab intelektual dan moral kita adalah mendorong lahirnya ekosistem teknologi informasi yang berkeadilan, transparan, dan partisipatif. Sistem TI publik harus dapat diaudit, dirancang secara kolaboratif, dikuasai secara lokal, dan dipandu oleh prinsip etika yang kuat. Pemerintah pusat harus memberi ruang dan dukungan kepada daerah untuk mengembangkan kedaulatan digitalnya, sementara pemerintah daerah harus berani memutus ketergantungan terhadap sistem tertutup dan mulai menumbuhkan kapasitasnya sendiri.
Lebih dari itu, perguruan tinggi, terutama di daerah, harus memainkan peran sentral dalam membangun kesadaran kritis, mengembangkan inovasi berbasis kebutuhan lokal, dan mendorong literasi digital yang melampaui keterampilan teknis. Ini adalah momen yang menuntut hadirnya keberanian intelektual untuk menantang logika lama yang menempatkan daerah sebagai sekedar pengguna, bukan pencipta sistem.
Transformasi digital yang sejati bukan hanya tentang kecepatan atau konektivitas, tetapi tentang siapa yang berdaulat atas sistemnya. Jika kita tidak hati-hati, maka kita akan menemukan diri kita hidup dalam sistem yang canggih, tetapi tidak bisa kita pahami, tidak bisa kita kontrol, dan tidak bisa kita lawan. Dan dalam sistem seperti itu, kemajuan hanya menjadi milik segelintir, sementara sisanya hanyalah penonton dalam skenario digital yang telah ditulis oleh orang lain.
Maka kini saatnya kita membalik pertanyaan: bukan lagi “siapa mengontrol siapa?”, tetapi “bagaimana kita merebut kembali kontrol atas sistem yang seharusnya menjadi milik publik.” Itulah panggilan kita sebagai bangsa yang merdeka, dan sebagai generasi yang berjuang agar teknologi benar-benar menjadi alat pembebasan, bukan bentuk baru dari penjajahan yang lebih halus.
Tentang Penulis: Ahmad Junaedi adalah alumni SMK Negeri 1 Tanjung Selor, Mahasiswa Magister Akuntansi UPN Veteran Yogyakarta dan Kandidat Doktor di bidang Ilmu Manajemen dan Entrepreneurship, Universitas Ciputra Surabaya. Aktif dalam kajian kewirausahaan, keberlanjutan dan pengembangan SDM vokasi.