
Oleh: H. Ahmad Junaedi, S.E., M.M., Ak., CPMA., CISHR., CICR., CIRBD.
“Kemajuan teknologi adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat pembebasan, atau bentuk baru dari penjajahan tak kasat mata.”
— Prof. Franz Magnis-Suseno
Dalam perbincangan nasional tentang transformasi digital, Kalimantan Utara hampir tidak pernah disebut. Kita lebih sering mendengar Jakarta bicara tentang kecerdasan buatan, atau Batam soal hilirisasi digital. Padahal, di provinsi termuda ini, narasi teknologi mestinya tidak hanya tentang kecepatan internet atau infrastruktur fiber optik, tetapi juga tentang masa depan manusia: siapa yang akan bekerja, bagaimana mereka bertahan, dan untuk siapa kemajuan ini terjadi?
Pembangunan Tanpa Fondasi Sosial
Data BPS Kalimantan Utara tahun 2024 menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kerja masih terserap di sektor primer seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sementara itu, partisipasi sektor industri berbasis teknologi sangat minim. Bahkan, menurut Kemenaker, lebih dari 60% pekerja di Kalimantan Utara tidak memiliki sertifikasi kompetensi formal, sebuah situasi yang sangat rentan ketika otomatisasi mulai menggantikan fungsi-fungsi manual.
Ironisnya, pemerintah pusat telah gencar mendorong digitalisasi layanan, otomasi industri, dan adopsi AI di berbagai bidang. Namun, di tempat seperti Tanjung Selor atau Nunukan misalnya, istilah seperti “machine learning” atau “big data” belum punya arti nyata dalam keseharian masyarakat. Inilah bentuk ketimpangan baru: literasi teknologi yang tidak tumbuh seiring dengan penetrasi teknologinya.
AI sebagai Kekuatan Baru dalam Eksklusi Sosial?
Dalam perspektif sosiologi teknologi, seperti yang dikemukakan oleh Manuel Castells (2010), masyarakat yang tidak terhubung secara bermakna dalam jaringan digital global akan mengalami “social disconnection“, peminggiran bukan karena jarak geografis, tetapi karena akses terhadap logika produksi informasi. Kalimantan Utara saat ini menghadapi risiko itu: menjadi konsumen teknologi, tapi tidak pernah menjadi produsen; menjadi obyek program, tapi jarang menjadi subjek kebijakan.
Pemerintah daerah perlu lebih progresif. Alih-alih hanya membangun infrastruktur pasif seperti BTS atau pusat data, seharusnya mulai merancang peta jalan (road map) keterampilan digital berbasis konteks lokal: pelatihan coding untuk pemuda desa, pemanfaatan AI dalam sistem logistik perbatasan, atau penggunaan big data dalam pengawasan komoditas ilegal. AI harus hadir sebagai alat keberdayaan, bukan hanya efisiensi.
Masa Depan Kerja: Antara Utopi dan Distopi
Deloitte (2023) melaporkan bahwa 63% pekerjaan entry-level di sektor administrasi, keuangan, dan logistik akan mengalami otomatisasi sebagian atau penuh dalam 5 tahun ke depan. Hal ini sejalan dengan temuan World Economic Forum (2023) yang menyebut Indonesia termasuk negara dengan risiko tinggi disrupsi kerja berbasis AI, namun dengan reskilling rate yang rendah.
Di Kalimantan Utara, tantangannya jauh lebih kompleks. Di satu sisi, peluang kerja sangat terbatas dan sebagian besar informal. Di sisi lain, keterampilan untuk bertahan dalam era digital nyaris tak tersedia. Jika AI di Jakarta berarti efisiensi, maka di pinggiran seperti Kalimantan Utara, AI bisa berarti pengangguran struktural.
Menawarkan Gagasan: Teknologi Berpihak
Melalui tulisan ini, saya tidak sekadar ingin mengkritik, tapi menawarkan alternatif cara pandang. Kita perlu mendesain ulang kebijakan digital nasional atau mungkin regional dengan prinsip “teknologi berpihak”, berpihak pada wilayah yang tertinggal, pada pekerja yang tak terdigitalkan, dan pada generasi muda yang ingin tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Bela negara di era digital tidak hanya soal keamanan siber, tapi juga soal keadilan dalam masa depan kerja. Kita tidak boleh membiarkan AI menjadi alat baru dalam memperkuat oligarki informasi. Kalimantan Utara dan wilayah pinggiran lainnya harus masuk dalam desain arsitektur transformasi digital nasional, sebagai aktor penuh, bukan sekadar statistik pembangunan.
Tentang Penulis: Ahmad Junaedi adalah alumni SMK Negeri 1 Tanjung Selor, mahasiswa Magister Akuntansi UPN Veteran Yogyakarta dan kandidat doktor di bidang Ilmu Manajemen dan Entrepreneurship, Universitas Ciputra Surabaya. Aktif dalam kajian kewirausahaan, keberlanjutan dan pengembangan SDM vokasi. (fz)
awesome