
Kebijakan kenaikan tarif air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) kembali memantik reaksi publik di Kabupaten Bulungan, masyarakat mempertanyakan dasar perhitungan tarif baru, proses penetapan kebijakan, dan sejauh mana peningkatan biaya ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan. Polemik ini memperlihatkan bahwa air bersih bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga menyangkut aspek keadilan, transparansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pelayanan publik.
Secara ekonomi, penyediaan air bersih memang memerlukan dukungan tarif yang memadai agar PDAM mampu menutup biaya operasional, pemeliharaan infrastruktur, dan investasi perluasan layanan. Kenaikan harga energi, bahan baku pengolahan, serta kebutuhan perbaikan sistem distribusi menjadi beban yang riil bagi keuangan perusahaan. Namun, dalam kerangka pelayanan publik, keputusan menaikkan tarif air tidak bisa berdiri sendiri di atas logika efisiensi bisnis. Ia harus berdiri di atas prinsip keterjangkauan dan keberpihakan sosial.
Kenaikan tarif, apa pun alasannya, akan selalu sensitif. Hal ini diperparah bila komunikasi publik minim dan proses konsultasi dengan masyarakat tidak dilakukan secara terbuka. Ketika masyarakat merasa tidak diajak bicara, bahkan sekadar diberi penjelasan yang utuh, maka respons resistif menjadi sesuatu yang wajar. Dimedia sosial contohnya tidak sedikit warga yang merasa bahwa layanan air belum maksimal, masih ada aliran yang sering mati, kualitas air yang keruh, atau distribusi yang tidak merata. Dalam konteks seperti itu, wajar jika publik mempertanyakan urgensi kenaikan tarif.
Seyogianya, pemerintah daerah dan manajemen PDAM menjadikan polemik ini sebagai momentum evaluasi menyeluruh atas tata kelola air bersih di daerah. Yang dibutuhkan bukan sekadar kenaikan tarif, melainkan reformasi menyeluruh: audit kualitas layanan, efisiensi internal perusahaan, serta mekanisme tarif yang adil dan berpihak pada masyarakat kecil. Keterlibatan unsur independen seperti akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga konsumen dalam proses penyusunan kebijakan tarif akan menjadi penyeimbang sekaligus jembatan komunikasi antara PDAM dan publik.
Air adalah kebutuhan dasar, bukan sekadar komoditas ekonomi. Maka, keberlanjutan pelayanan air bersih tidak bisa hanya ditopang oleh logika bisnis semata, tetapi harus diletakkan dalam kerangka hak publik. Keadilan sosial harus menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut layanan dasar.
Jika kebijakan tarif air dibuat secara transparan, komunikatif, dan responsif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka publik tidak hanya akan menerima, tetapi juga mendukung langkah-langkah perbaikan yang dilakukan. Sebab, pada akhirnya, air bersih bukan soal harga, melainkan soal kepercayaan dalam pelayanan.
Ditulis oleh : Aslan, SE., M.Ec.Dev
Dosen Ekonomi, Universitas Kaltara